“Yang tak peduli berarti tak mencintaimu. Setidaknya penggalan kalimat itu muncul di dalam benak pria yang kini terpekur di sudut cafe di pinggiran kota tua itu. Uap dari kopi yang baru saja disajikan oleh pelayan, tak dihiraukannya. Matanya nyalang melihat ke arah handphone yang cuma diletakkan begitu saja di samping gelas kopi. Seolah ada sesuatu yang dia nantikan, ada sesuatu yang teramat sangat diharapkannya.
“Ini sudah hari kedua Ning. Tak kah kau mengingatku sejenak saja?”
“Apakah selama ini hanya kesia-siaan yang akan menjadi puncak dari segala sesuatunya?”
“Kita tak tahu apa yang akan terjadi esok, kau bahkan takkan tahu apakah aku bisa bertahan untukmu atau tidak.”
“Lah… Kita takkan tahu kalau kita tidak mencobanya terlebih dahulu kan, Ning?”
“Kau tak mengerti. Ini sesuatu yang di luar perkiraanku, di luar kendali ku.”
“Makanya aku minta kepada mu dengan sepenuh hatiku, tak bisa kah kita mencobanya terlebih dahulu? Kita sudah pernah mengalami ini sebelumnya, mengapa cuma karena keluarga yang berbeda kita harus terpisah?”
“Kita lihat saja dulu, nanti aku telepon atau sms bagaimana selanjutnya.”
Itu dua hari lalu. Sejak saat itu sang pria hanya bisa menanti dalam ketidakpastian, ketidakpastian yang jauh lebih suram dari kabut yang mulai turun perlahan menutup penglihatan. Setiap sore dia mengunjungi cafe ini, sampai semua pelayan sudah sangat mengenalinya. Yah… bukan hanya dua hari ini saja, karena di cafe inilah segala sesuatu dimulai. Cafe dengan nuansa sedikit kuno di kertas dindingnya. Jam tua yang tergantung tepat di atas lemari yang berdetak, seolah menyebarkan harap ke seisi ruangan. Vas bunga yang seolah tersisihkan di antara jambangan antik tepat di samping ruangan.
Tempat ini menyimpan sejuta kenangan bagi mereka berdua. Masih jelas di ingatannya ketika jemari mereka berdua bertautan. Ketika waktu terasa sangat singkat hanya untuk menatap mata gadis pujaannya. Kalimat selanjutnya terasa begitu merekah dalam kalbu membawa impian terbang tinggi ke angkasa.
Impian yang sama membuat dia merasakan sakitnya terhempas. Sejak awal dia sudah tau resikonya, tapi cinta bisa membuat orang terbawa dalam harap yang dia sendiri sudah tidak tahu salah atau benar, karena dalam harap akan cinta, manusia terkadang tidak lagi mempedulikan salah atau benar. Selama dia merasa getar di dadanya, selama dia merasa cinta ini menggebu – gebu dia tak pernah peduli kata salah atau benar.
Keluarga mereka berbeda. Keyakinan mereka berbeda. Tapi seperti uap dari gelas kopi di depannya, itu tidak lah dipedulikan, senyuman dan belaian hangat seakan menghancurkan setiap tembok perbedaan. Kasih sayang yang dibina mereka terasa begitu nyata seperti aroma kopi yang disesap perlahan.
Sampai kata – kata pembunuh itu datang. Sang gadis berkata bahwa mereka tak bisa lagi melanjutkan ini semua. Seluruh keluarganya menentang. Itu jauh lebih menyakitkan dari jari yang terjepit di pagar besi yang ditutup paksa oleh satpam. Jauh lebih menyakitkan dari dinginnya hujan bulan Juli yang mengguyur saat menanti depan kampus, dan melihat kau pergi dengan sedan hitam orang tuamu.
Hari ini dia masih menanti. ” Ah baru hari kedua, aku masih bisa menantimu di sini Ning.” Bisiknya perlahan. Dia melupakan kenyataan bahwa percakapan mereka berdua itu sudah terjadi tiga tahun lalu. Dan dia masih menanti.
Nathalya Christyne says
merinding..(y)