Butir – butir air itu laksana jarum yang terjatuh dari balik awan, menghujam setiap jiwa yang ada di bumi. Setiap yang tak terlindung dengan baik akan menerima resikonya. Dingin yang menusuk seolah mencapai tulang.
“Sepertinya ini sudah mau musim penghujan, dek.” Ucap Ibu perlahan, ada nada getir disana. Yah bagi sebagian orang hujan sering diibaratkan dengan berkat yang dicurahkan Tuhan bagi umat-Nya,
Tapi itu mungkin sedikit berbeda bagi kami. Hujan artinya berkurang pedapatan ayah, bekerja setiap hari dengan mengharap sisa – sisa barang berharga dari setiap sudut tong sampah yang ada di perumahan orang – kaya di kota, mendorong gerobaknya kesana kemari tentu akan sulit dilakukan dibawah terjangan hujan.
Adik pasti akan menangis malam ini karena susu untuknya belum sempat terbeli, suasana muram sudah terbayang di kepalaku, tetesan air yang semakin hari semakin menjadi menerobos masuk ke gubuk kecil kami pasti akan bertambah. Terkadang ada rasa iri di hati melihat anak – anak di sekolahan dekat kota, mereka yang berseragam warna warni itu bermain bersama, ingin aku turut bermain tapi aku takut karena mereka berbaju sama, sementara aku berbaju pun jarang. Mengutarakan keinginanku pada ibupun percuma, ingin rasanya berseragam seperti mereka yang bermain di sana, tapi mulutku terkunci jika mengingat malam – malam ibu menangis sendiri. Yah… Ibu sering menangis sendiri, tapi tak bersuara seperti adik menangis. Entahlah… aku sendiri heran, tapi biasanya selepas melihat ibu menangis airmataku pun mengalir sendiri, dan turut tak bersuara.
Hari Ayah memaksakan diri berangkat dengan gerobaknya, meski Ibu sudah memaksanya untuk menunggu sampai hujan sedikit mereda, tapi toh Ayah tetap berangkat, Ibu masih mematung di ambang pintu seolah tak rela. Aku cuma bisa diam saja sambil memeluk adik yang tidurnya mulai gelisah ketika tetesan air dari atap yang bocor jatuh membasahi rambutnya. Hujan hari ini jauh lebih lebat dari sebelumnya, sempat kulihat petir di kejauhan, aku memeluk adik semakin erat. Ibu sudah tampak sibuk lagi di belakang rumah.
“Rasanya hujan ini tak mau berhenti dek.”Ibu berbisik perlahan, seolah bukan kepadaku. Siangnya aku tahu bahwa ucapan Ibu benar adanya, seorang teman ayah tergopoh – gopoh datang kerumah, kuyup dan penuh lumpur memberitahu bahwa Ayah terbawa banjir sewaktu mencari barang – barang di tepian selokan kota. Sejak saat itu aku tahu benar, hujan takkan berhenti, setidaknya dari mata Ibu.
Agustus 2014
Bitung di saat hujan.
Leave a Reply